Manusia biasanya memiliki banyak sekali impian dan harapan. Ada yang hanya sampai tangga 'ingin', ada pula yang naik ke tingkat lebih tinggi yaitu 'melakukan'.Puncaknya tentu saja 'tercapai'. Terkadang untuk menaiki satu demi satu tangga impian itu, kita melewati banyak sekali rintangan dan momentum. Tak sedikit pula yang melewati waktu yang teramat lama.
Semakin bertambahnya usia dan berubahnya kondisi lingkungan, impian kita cenderung bertambah pula. Dari yang hanya memikirkan diri sendiri, kini bisa jadi kita mulai memikirkan impian kita bersama orang lain. Entah itu keluarga, sahabat, atau masyarakat yang membutuhkan. Sayangnya, lagi-lagi impian itu masih sebatas harapan. Ingin begini, mau begitu, rencananya nanti akan begini, dan ungkapan lain yang biasanya kita ucapkan untuk menguatkan impian.
Dulu, sewaktu saya masih kuliah, saya sudah mulai berpikir jauh ke depan, ke masa di mana ketika impian-impian saya terwujud. Sungguh, begitu membuncah rasanya. Ingin naik haji, memiliki pabrik, perpustakaan hijau, punya usaha di bidang media, menjadi hafizhoh, banyak sekali. Biasalah, semangat muda cenderung membuat kita menggebu-gebu dalam menyusun daftar impian. Sayangnya, semangat itu tidak dibarengi dengan visualisasi, master plan, targeting, atau istilah bekennya 'tanpa aksi perencanaan'. Alhasil, impian itu masih saja sebatas mimpi dan harapan hingga tamat kuliah. Semoga saja tidak jatuh pada angan-angan.
Untungnya impian saya tidak bertambah, masih tetap sama, namun perencanaan masih tetap sama, tanpa targeting. Saya tidak menargetkan kapan impian saya terwujud, bagaimana tahap-tahap mewujudkannya, dan apa saja yang harus dicapai, semua itu tidak pernah saya visualisasikan dalam bentuk master dan action plan.Semua mengalir begitu saja seperti air. Lima tahun lebih, impian saya masih belum terwujud. Kalau sebelumnya masih ada program PELITA (Pembangunan Lima Tahun), barangkali pelita saya sudah kedaluwarsa, tidak berlaku lagi.
Barusan saja, saya teringat dengan apa yang saya pelajari selama kuliah - Engineering. Bahwa sejatinya, ketika kita ingin menghasilkan suatu produk, apa pun itu, kita tentu saja melakukan sebuah rekayasa (engineering) proses. Mengadopsi prinsip Dahlan Iskan, manufaturing hope , bahwa sebenarnya setiap kita pun seharusnya melakukan engineering dreams .
Rekayasa yang saya maksud bukanlah dalam konteks manipulasi negatif, melainkan merancang, membuat konstruksi, mengatur hal-hal yang terkait dengan pencapaian impian tersebut. Dan bodohnya saya, saya tidak melakukan semua itu.Saya tidak menyusun rencana, target, serta rencana konstruksi proses rekayasa impian saya. Wajar ketika impian itu tidak kunjung terwujud. Meskipun proses tanpa perencanaan itu tetap dilakukan, tapi proses itu tidak akan efektif.
Catatan ini sengaja saya hadirkan agar saya ingat, muhasabah diri, bahwa untuk menaiki tangga impian itu, engineering dreams mutlak dilakukan sebagai wujud ikhtiar, tentunya tetap dibarengi tawakkal. Jika tidak, bersiaplah meninggalkan dunia ini hanya dengan angan-angan. Bukankah untuk masuk surga saja kita harus melakukan engineering hope?